3 Kelompok Hukum dalam Tata Hukum Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa dalam tata Hukum Indonesia, terdapat 3 (tiga) kelompok Hukum yaitu : 
1. Hukum Perdata 
Menurut MG. Lemaire, struktur Hukum Perdata dapat dijelaskan sebagai berikut : 

a. Hukum Pribadi. Hukum Pribadi disini mengatur hak dan kewajiban dari subyek hukum yang timbul setelah ditandatanganinya suatu perjanjian kerja dan berakhir setelah suagu hubungan kerja terputus. Disamping itu Hukum Pribadi disini juga berkaitan dengan kecakapan subyek hukum dalam bertindak di depan hukum. Misalnya : 
1) Seorang anak baru bisa dianggap mampu membuat perjanjian kerja apabila ia telah mendapatkan kuasa dari walinya atau orang tuanya. 2) Organisasi Perburuhan (Serikat Buruh) baru mampu melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah terdaftar di Departemen Tenaga Kerja. b. Hukum Harta Kekayaan, yang mencakup : 1) Hukum Benda 2) Hukum Perikatan yang meliputi : Hukum Perjanjian dan Hukum Penyelewengan Perdaya. 3) Hukum Keluarga 4) Hukum Waris Hukum Harta Kekayaan meliputi : a) Hukum Kebendaan Dalam Hukum Perburuhan dikenal ada Benda Bergerak, misalnya : upah, hasil produksi benda bergerak. Kemudian dikenal pula Benda tak bergerak, misalnya : Mesin pabrik, Gedung pabrik, Tanah dan sebagainya. Selanjutnya terdapat pula benda yang ada nanti, misalnya : uang ganti rugi kecelakaan kerja, uang pesangon, uang pensiun, tunjangan kematian dan sebagainya. Demikian pula terdapat benda yang tidak dapat diraba atau dilihat, misalnya : hasil produksi berupa jasa, hak cipta dan sebagainya. b) Hukum Perjanjian Hukum Perjanjian berkaitan dengan masalah perjanjian menyangkut sahnya perjanjian serta macam – macam perjanjian. Dalam Hukum Perburuhan dikenal ada perjanjian kerja, peraturan perusahaan, serta perjanjian perburuhan (Kesepakatan Kerja Sama) yang tidak dapat lepas dari persyaratan sahnya perjanjian pada umumnya. c) Penyelewengan Perdata Penyelewengan perdata menimbulkan hak untuk menuntut ganti rugi kepada pihak yang di rugikan, akibat pelanggaran hukum oleh pihak lain. Misalnya : seorang buruh merusak milik perusahaan maka kepadanya dapat dimintakan rugi. 2. Hukum Tata atau Hukum Negara Hukum tantra melihat negara baik dalam keadaan bergerak maupun dalam keadaan tidak bergerak. Hukum Tata Negara melihat negara dalam keadaan tidak bergerak (statis), sedangkan Hukum Administrasi Negara melihat Negara dalam keadaan bergerak (dinamis). Fungsi Hukum Tata Negara adalah : a. Menentukan apa saja yang menjadi masyarakat hukum atasan dan bawahan dengan segala jenjang tingkatnya. b. Merumuskan lingkup peranan terhadap wilayah negaranya dan warga negaranya. c. Menunjukkan kekuasaan apa saja yang diserahkan pada aneka lembaga dalam tiap masyarakat hukum. Berangkat dari fungsi Hukum Tata Negara tersebut diatas, maka inti dari Hukum Tata Negara adalah sebagai berikut : a. Berkaitan dengan kedudukan / status yang menjadi subyek dalam Hukum Negara, yairu : Siapa yang menjadi pengusaha / Pejabat Negara, Lembaga – lembaga Negara macam apa saja, serta siapa yang menjadi warga negara dan siapa yang bukan warga negara. b. Berkaitan dengan peranan (role) yang menjadi subyek dalam negara. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ditinjau dari aspek Hukum Tata Negara, lembaga – lembaga negara yang erat kaitanya dengan masalah – masalah perburuhan adalah : 1) Departemen Tenaga Kerja yang berfungsi sebagai Lembaga Eksekutif. 2) DPR yang berfungsi sebagai Lembaga Legislatif. 3) Mahkamah Agund berfungsi sebagai Lembaga Yudikatif. Selanjutnya Fungsi Hukum Administrasi Negara yang melihat negara dalam keadaan bergerak, pada hakikatnya bertujuan mengatur lembaga kekuasaan / pejabat atasan maupun bawahan dalam melaksanakan peranannya berdasarkan Hukum Tata Negara, yaitu : a. Menciptakan peraturan – peraturan yang berupa ketentuan – ketentuan abstrak yang berlaku umum. b. Menciptakan ketentuan – ketentuan yang berupa ketentuan konkrit untuk subyek tertentu, di bidang : 1) Bestuur, yang berbentuk : perijinan, pembebanan, penentuan status atau kedudukan, pembuktian, pemilikan dalam penggandaan dan pemeliharaan perlengkapan administrasi. 2) Politie, mencakup proses pencegahan dan penindakan. 3) Rechtspraak, mencakup proses pengadilan, arbitrase, konsiliasi dan mediasi. Kegiatan penciptaan ketentuan – ketentuan abstrak yang berlaku umum tercermin dalam kegiatan Pembetnukan Undang – Undang, Peraturan Pemerintah serta Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri. Kegiatan menciptakan ketentuan – ketentuan konkrit untuk subyek tertentu, tercermin dalam kegiatan : pemberian ijin penyimpangan jam kerja, ijin pemutusan hubungan kerja dan ijij mempekerjakan wanita pada malam hari. Demikian pula penentuan status terlihat dalam kegiatan pemberhentian buruh oleh P4P. Kegiatan pembuktian dapat dilihat dari pendaftaran serikat buruh pada Departemen Tenaga Kerja. Kegiatan pengawasan dalam arti pencegahan, tercermin dalam ketentuan keselamatan kerja, ketentuan upah minimum dan sebagainya. Sedangkan kegiatan pengawasan dalam arti penindakan, tercermin dalam ketentuan yang mencantumkan ancaman sanksi pidana / administratif. Kegiatan peradilan di sini, tercermin dalam mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan yang dikenal arbitrase wajib ( pemerintah mempunyai peranan yang penting ). 3. Hukum Pidana Ruang lingkup Hukum Pidana mencakup peristiwa pidana (straafbaarfeit) yaitu : suatu sikap perilaku manusia yang masuk lingkup laku perumusan kaedah pidana yang melanggar hukum dan didasarkan pada unsur kesalahan. Oleh karena itu unsur – unsur pidana mencakup : 
a. Sikap tindak/perilaku manusia, misalnya : mencuri, menganiaya dan sebagainya. 
b. Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenarannya. Misalnya : membunuh, kecuali dia gila atau dalam keadaan memaksa yang tak dapat dielakan. 
c. Kedalahan, kecuali ada peniadaan kesalahan. Misalnya : melanggar ketentuan lalu lintas. Akhirnya jenis – jenis Hukum Pidana yang dikenal menurut pasal 11 KUH Pudana adalah : 
a. Hukum Pokok, misalnya : penjara, kurungan atau denda. 
b. Hukuman Tambahan, misalnya : pencabutan hak – hak tertentu, perampasan barang – banrang tertentu. 
Dalam Hukum Perburuhan dikenal juga kedua jenis hukuman tersebut diatas. Hal ini tercantum dalam berbagai undang – undang di bidang perburuhan yaitu : 
a. Pasal 18 UU No. 1 Tahun 1951. 
b. Pasal 27, 28, 29 UU No. 1 Tahun 1951. 
c. Pasal 6 UU No. 3 Tahun 1951. 
d. Pasal 30 UU No. 22 Tahun 1957. 
e. UU No. 14 Tahun 1969. 
f. UU No. 1 Tahun 1970.